Rabu, 11 Mei 2011

Cemburumu dan Cemburu-Nya

Posted by Farid Ma'ruf pada Oktober 2, 2007
Kalau Anda pencemburu, maka sungguh Allah Swt Zat Yang Maha Cemburu sehingga syirik menjadi dosa yang tak terampunkan. Bagaimana membuat Allah tidak cemburu? Cemburu atau jealous, dalam bahasa Arabnya disebut ghirah yang berarti ”semangat yang menggelora karena tidak mau dihina, diremehkan, atau karena kehormatannya dikurangi’.”
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, cemburu ada dua macam. Yaitu cemburu karena kekasih, dan cemburu terhadap kekasih.
Cemburu karena kekasih adalah semangat yang menggelora dan marah jika kekasihnya itu diremehkan haknya, direndahkan kehormatannya, dan mendapat gangguan dari pihak lain. Cemburu ini adalah kecemburuan hakiki yang merupakan manifestasi rasa cinta. Cinta yang sedemikian besar, sehingga sang pencemburu merasa nothing to lose untuk mengorbankan raga, harta, bahkan jiwanya demi sang kekasih, sampai penyebab cemburunya itu sirna.
Cemburu kedua, adalah kemarahan dan ketersinggungan orang yang jatuh cinta terhadap pihak lain yang juga mencintai kekasihnya. He can take you any place that you want, to fancy club and restaurant, kata Horse Power dalam “I (Who Have Nothing)”. Baik sang kekasih mengabaikannya, apalagi bila kekasih menyambutnya. Seperti disenandungkan John Lennnon dalam Jealous Guy: I was feeling insecure. You might not love me anymore.
Nah, Allah Swt yang menciptakan rasa cemburu pada manusia itu pun, adalah Zat Yang Maha Cemburu. Rasulullah saw menginformasikan bahwa ”Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah” (HR Bukhari dan Muslim).
Bagaimana Allah cemburu?
Allah Maha Pencemburu karena kekasih, dan Dia juga cemburu bila kekasihnya melebihkan cintanya kepada pihak lain.
Jika orang yang tidak beriman saja masih diperhitungkan Allah Swt, maka setiap mukmin adalah kekasih-Nya. Allah dekat dengannya, bahkan lebih dekat ketimbang urat lehernya sendiri. Dia marah bila mukmin seperti tidak butuh kepada-Nya, dan Dia mengabulkan setiap pintanya. ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan”.

“Sungguh, Allah senantiasa melindungi hamba-Nya yang mukmin dari dunia, sebagaimana salah seorang di antara kalian melindungi orang sakit dari makanan dan minuman,” demikian wasiat Nabi Muhammad saw sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi.
Namun, seperti dilagukan Bimbo: Dia dekat Aku dekat, dia jauh Aku jauh. Karena itu, kata Nabi lagi, ”Sesungguhnya Allah sangat cemburu untuk orang Islam, maka seorang muslim pun harus cemburu untuk Allah” (HR Thabrani).
Bagaimana agar mukmin tidak membuat cemburu Allah?
Yaitu jangan melakukan apa yang dibenci-Nya. Wasiat Nabi Saw, ”Tak ada sesuatu pun yang lebih cemburu daripada Allah, maka dari itu Dia mengharamkan perbuatan buruk dan maksiat” (HR Bukhari-Muslim). Juga, “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Untuk itu Dia mengharamkan berbagai kekejian, yang tampak maupun yang tersembunyi….” (HR Bukhari-Muslim)
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan orang Mu’min itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika orang mu’min melakukan apa yang diharamkan atas dirinya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Selain kemaksiatan, hal yang dicemburui Allah adalah bila mukmin menomorduakan cintanya pada Tuhan. Baik di bawah cinta kepada manusia maupun harta benda. Firman Allah: “Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri karugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.” (QS. At-Taubah: 24).
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintai sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah…”(QS. Al-Baqarah: 165).
Salah satu sahabat Nabi yang mencintai Allah setulusnya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah. Di perang Badar, Abu Ubaidah pun berusaha menghindari ayahnya yang masih berpihak di barisan kafir Quraisy. Namun, setelah Al Jarrah berkali-kali menantangnya duel, Abu Ubaidah akhirnya bersedia melayani. Al Jarrah pun tewas di tangan putranya.
Betapa hancur Abu Ubaidah, harus membunuh ayahnya sendiri meskipun untuk mempertaruhkan kebenaran. Allah swt lalu menghibur Abu Ubaidah dan kaum muslimin dengan ayat 22 Al Mujaadilah:
”Kamu tidak akan mendapati suatu kaum beriman kepada Allah dan Hari Akhir, yang berkasih sayang dengan para penentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanam keimanan dalam hati dan menguatkannya dengan pertolongan Allah….”
Orang-orang seperti Nabi Muhammad Saw lah yang menjadi kekasih terdekat Allah. Beliau sudah sampai pada derajat seperti yang dilukiskan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:
”Siapa yang memusuhi wali-Ku, kumaklumatkan perang kepadanya. Tidaklah lebih kusukai pendekatan hamba kepada-Ku, kecuali dengan amalan yang telah Ku-wajibkan. Jika hamba-Ku berupaya terus-menerus lebih dekat dengan-Ku melalui amalan-amalan sunah, akhirnya Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, pendengarannya adalah pendengaran-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, gerak tangannya adalah gerakan tangan-Ku, dan langkah kakinya menjadi langkah-Ku. Bila ia memohon pasti Ku-kabulkan, dan bila ia meminta perlindungan pasti Ku-lindungi.’’[]
Kala Aisyah Mencembururui Shafiyyah
Sukses menaklukkan Benteng Khaibar Yahudi, kaum Muslimin mendapatkan pampasan perang, termasuk para tawanan wanita. Salah satunya Shafiyah binti Huyai binti Akhthan bin Sa’yah cucu dari Al-Lawi. Al Lawi tak lain putra Nabiyullah Israil bin Ishaq bin Ibrahim as, termasuk keturunan Rasulullah Harun as. Shafiyah yang cantik, cerdas dan terhormat ini, adalah janda Salam bin Abi Al-Haqiq yang kemudian dinikahi Kinanah bin Abi Al-Haqiq. Keduanya penyair kenamaan Yahudi. Kinanah tewas dalam Perang Khaibar.
Rasulullah Saw. kemudian memerdekakannya sebagai mahar untuk menikahinya. Selain tertarik pada pribadi Shafiyah yang tidak histeris dengan kematian keluarganya sebagaimana wanita Yahudi lain, beliau juga berhitung secara politis. Dengan menikahi Shafiyah, Nabi berharap permusuhan Yahudi akan reda, karena menggerogoti kekuatan kaum Muslimin yang masih harus menghadapi Quraisy Mekah.
Setiba di Kota Madinah, Rasulullah menurunkan Shafiyah di rumah sahabatnya, Haritsah bin Nu’man. Para wanita Anshar berbondong-bondong datang menjenguk wanita istimewa tersebut.
Kabar bocor ke telinga Aisyah ra. Beliau lalu diam-diam menuju rumah Haritsah bin Nu’man, untuk melihat madunya. Tapi Nabi tahu kedatangannya. Tatkala Aisyah keluar dari kediaman Haritsah, Rasulullah tertawa dan merangkul istrinya itu seraya bertanya, ”Bagaimana menurut mendapatmu wahai Al Humaira?” Ketus Aisyah menjawab, “Kayaknya dia wanita Yahudi yah.” Rasulullah berkata, “Jangan berkata begitu dong, dia kan sudah memeluk Islam dan bagus agamanya.”
Terprovokasi Aisyah, para istri Nabi yang lainnya pun meledek Shafiyah. Apalagi setelah wanita ini diboyong Rasul ke rumah Beliau sendiri. ”Oh, ini rupanya si wanita Yahudi itu ya,” kata mereka tatkala menyambut kedatangan Shafiyah. ”Kalau kami sih wanita Quraisy, bukan Yahudi.”
Kali lain, beberapa istri Nabi termasuk Aisyah dan Shafiyah turut mendampingi perjalanan suami. Aisyah menunggangi unta yang kuat dengan beban bawaan lebih sedikit, sebaliknya dengan Shafiya. Karena itu, perjalanan menjadi lambat, harus menunggu unta Shafiya yang berjalan perlahan.
”Tolong tukarkan barang-barang bawaan unta Shafiya dengan unta Aisyah agar perjalanan kita lebih cepat,” kata Nabi kepada sahabat pengiringnya. Aisyah tidak terima. ”Bagaimana bisa Rasulullah mengesampingkan kita dan mendahulukan wanita Yahudi itu?” katanya penuh emosi. Nabi menyadarkan, betapa beban tunggangan Shafiya dan Aisyah bertolak belakang dengan kondisi tubuhnya masing-masing.
”Bukankah engkau ini Rasulullah?” Aisyah masih tak terima.
”Apakah engkau meragukanku, wahai Ummu Abdillah,” jawab Nabi sambil tersenyum.
”Kalau begitu, mengapa engkau tidak adil,” sergah Aisyah.
Tiba-tiba Abu Bakar mendekati Aisyah dan bermaksud menampar putrinya itu. Untung Nabi sempat mencegahnya. ”Sabar, Abu Bakar, sabar,” kata beliau. ”Maklum saja, wanita yang sedang cemburu itu tidak bisa melihat dasar lembah walau dari atasnya.” (HR Ibnu Hibban).
Begitulah, perlakuan para istri senior Nabi terhadap Shafiyah, hanya karena cemburu belaka. Bukan lantaran benci kepadanya. Sehingga Nabi pun menghadapinya dengan cool-cool saja.[]
(http://www.baitijannati.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar